Kalau kamu kira drama hanya ada di sinetron atau grup WhatsApp keluarga, kamu salah besar. Sejarah Indonesia juga punya dramanya sendiri. Salah satunya adalah Pemberontakan DI/TII (1948-1949) yang bikin kepala pusing tujuh keliling. Bayangin, negara yang baru merdeka lima menit, eh udah diobrak-abrik dari dalam! Mari kita bahas bareng-bareng, tapi tenang… gaya santai aja, biar nggak tegang.
Apa Itu DI/TII dan Kenapa Mereka Marah-Marah?
Pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dimulai pada tahun 1948. Gerakan ini dipimpin oleh seorang tokoh kharismatik tapi kontroversial, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Nah, si Kartosoewirjo ini nggak main-main, dia punya mimpi besar: mendirikan negara Islam di Indonesia. Bukan cuma provinsi ya, tapi se-Indonesia Raya!
Menurut sejarawan Anhar Gonggong, “Kartosoewirjo adalah contoh tokoh ideologis yang tak puas dengan bentuk negara yang dipilih Republik Indonesia pasca-kemerdekaan.”
Jadi, saat pemerintah pusat sibuk ngurusin agresi militer Belanda, DI/TII malah nyeruduk dari belakang. Mending kalau bantu-bantu, ini malah bikin makin ribet.
Latar Belakang: Kok Bisa Ada Gerakan Separatis?
Setelah Proklamasi 1945, Indonesia belum sepenuhnya aman. Belanda masih belum rela melepas jajahannya, konflik di mana-mana, dan pemerintah pusat sibuk negosiasi sana-sini. Di tengah kekacauan itu, Kartosoewirjo merasa ini saat yang tepat untuk bertindak. Ia mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat.
Tapi pertanyaannya: kenapa harus ribut sendiri?
Kartosoewirjo merasa sistem republik sekuler nggak cocok sama nilai-nilai Islam. Menurutnya, satu-satunya jalan keluar dari kekacauan adalah menerapkan hukum Islam sebagai dasar negara. Masalahnya, dia nggak ngajak ngobrol dulu nih sama yang lain. Main deklarasi aja.
Kronologi Singkat Pemberontakan DI/TII
Tahun 1948: Deklarasi NII
Di Garut, Kartosoewirjo resmi mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia. Ini bukan prank, guys. Pasukan TII mulai nyerang pos-pos militer dan menduduki beberapa wilayah.
1949: Konflik Melebar
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah pusat mulai serius beresin urusan dalam negeri. DI/TII makin kejam dan brutal. Mereka menerapkan hukum Islam versi mereka sendiri, kadang sangat ekstrem.
Pemerintah pun nggak tinggal diam. Operasi militer dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan. Tapi karena medan pegunungan dan dukungan dari sebagian rakyat, DI/TII sulit ditaklukkan.
Dampak Pemberontakan: Bikin Negara Masuk Angin
1. Kehilangan Kepercayaan Rakyat
Rakyat kecil yang udah capek perang malah dapat teror baru. Banyak wilayah di Jawa Barat jadi medan perang baru. Rakyat bingung harus dukung siapa. Pemerintah? Atau yang bawa nama agama?
2. Pemerintah Terkuras
Baru aja merdeka, pemerintah Indonesia harus menghabiskan energi dan anggaran buat ngadepin saudara sendiri. Nggak cukup berurusan sama Belanda, sekarang DI/TII ikut nambah PR.
3. Munculnya Gerakan Serupa
Contoh buruk itu menular. Setelah DI/TII, muncul juga pemberontakan dengan nama dan semangat serupa di Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Satu tumbang, muncul tiga. Kayak jamur di musim hujan.
Pendekatan Pemerintah: Perang dan Perundingan
Pemerintah nggak langsung main tembak semua. Mereka coba pendekatan negosiasi, tapi Kartosoewirjo kukuh. Akhirnya, operasi militer diluncurkan secara besar-besaran pada awal 1950-an.
“Kartosoewirjo adalah sosok yang sulit diajak kompromi,” kata sejarawan Taufik Abdullah. “Dia percaya sepenuhnya bahwa apa yang ia lakukan adalah perintah dari Tuhan.”
Namun, pada tahun 1962, Kartosoewirjo akhirnya berhasil ditangkap di Gunung Geber, Jawa Barat. Ia diadili dan dieksekusi pada tahun yang sama. Tamatlah riwayat NII.
Analisis: Idealisme vs Realitas
Satu hal yang bisa kita pelajari dari kisah ini adalah bahwa niat baik belum tentu menghasilkan hasil baik kalau caranya salah. Kartosoewirjo memang punya idealisme, tapi dia lupa: Indonesia itu majemuk. Kalau semua orang maksa ide masing-masing, ya bubar negara ini.
Dan ini penting banget: jangan cuma lihat DI/TII dari sisi agama aja. Ini soal politik, kekuasaan, dan tafsir agama yang sempit. Kalau kita terjebak di situ, kita nggak akan belajar apa-apa.
Nilai Historis: Belajar Dari Masa Lalu
Pemberontakan DI/TII mengingatkan kita bahwa membangun bangsa itu butuh kompromi. Nggak semua hal bisa dipaksakan. Demokrasi memang berisik, tapi itu lebih baik daripada konflik berdarah-darah.
Dalam buku “Islam dan Negara”, Prof. Azyumardi Azra menulis: “Islam di Indonesia adalah Islam yang bersahabat dengan budaya lokal. DI/TII adalah anomali dari karakter Islam Nusantara.”
Kesimpulan: Kalau Mau Ideal, Jangan Lupa Realistis
Jadi, kalau ada teman kamu yang bilang “negara ini kacau karena nggak sesuai agama”, suruh dia baca sejarah. Biar tahu kalau dulu pernah ada yang coba, dan hasilnya: chaos.
Pemberontakan DI/TII (1948-1949) adalah pelajaran mahal buat kita semua. Bahwa membangun Indonesia itu nggak bisa sendirian. Butuh dialog, toleransi, dan kerja bareng.
Sekian cerita dramatis kita hari ini. Semoga bisa jadi bahan renungan (dan obrolan ngopi sore) yang asyik. Jangan lupa share ya, biar yang lain juga tahu kalau sejarah Indonesia nggak kalah seru dari film action!